Selasa, 22 Maret 2011

Ekonomi SDA (Faktor2 Penyebab Eksternalitas)


FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB EKSTERNALITAS
      Eksternalitas timbul pada dasarnya karena aktivitas manusia yang tidak mengikuti prinsip-prinsip ekonomi yang berwawasan lingkungan. Dalam pandangan ekonomi, eksternalitas dan ketidakefisienan timbul karena salah satu atau lebih dari prinsip-prinsip alokasi sumber daya yang efisien tidak terpenuhi. Karakteristik barang atau sumber daya publik, ketidaksempurnaan pasar, kegagalan pemerintah merupakan keadaan-keadaan dimana unsur hak pemilikan atau pengusahaan sumber daya (property rights) tidak terpenuhi. Sejauh semua faktor ini tidak ditangani dengan baik, maka eksternalitas dan ketidakefisienan ini tidak bisa dihindari. Kalau ini dibiarkan, maka ini akan memberikan dampak yang tidak menguntungkan terhadap ekonomi terutama dalam jangka panjang. Bagaimana mekanisme timbulnya eksternalitas dan ketidakefisienan dari alokasi sumber daya sebagai akibat dari adanya faktor diatas diuraikan satu per satu berikut ini.
1.  Keberadaan Barang Publik
     
Barang publik (public goods) adalah barang yang apabila dikonsumsi oleh individu  tertentu tidak akan mengurangi konsumsi orang lain akan barang tersebut. Selanjutnya, barang publik sempurna (pure public good) didefinisikan sebagai barang yang harus disediakan dalam jumlah dan kualitas yang sama terhadap seluruh anggota masyarakat.
      Kajian ekonomi sumber daya dan lingkungan salah satunya menitikberatkan pada persoalan barang publik atau barang umum ini (common consumption, public goods, common property resources). Ada dua ciri utama dari barang publik ini. Pertama, barang ini merupakan konsumsi umum yang dicirikan oleh penawaran gabungan (joint supply) dan tidak bersaing dalam mengkonsumsinya (non-rivalry in consumption). Ciri kedua adalah tidak ekslusif (non-exclusion) dalam pengertian bahwa penawaran tidak hanya diperuntukkan untuk seseorang dan mengabaikan yang lainnya. Barang publik yang berkaitan dengan lingkungan meliputi udara segar, pemandangan yang indah, rekreasi, air bersih, hidup yang nyaman dan sejenisnya.
    Satu-satunya mekanisme yang membedakannya adalah dengan menetapkan harga (nilai moneter) terhadap barang publik tersebut sehingga menjadi bidang privat (dagang) sehingga benefit yang diperoleh dari harga itu bisa dipakai untuk mengendalikan atau memperbaiki kualitas lingkungan itu sendiri. Tapi dalam menetapkan harga ini menjadi masalah tersendiri dalam analisa ekonomi lingkungan. Karena ciri-cirinya diatas, barang publik tidak diperjualbelikan sehingga tidak memiliki harga, barang publik dimanfaatkan berlebihan dan tidak mempunyai insentif untuk melestarikannya. Masyarakat atau konsumen cenderung acuh tak acuh untuk menentukan harga sesungguhnya dari barang publik ini.

 Dalam hal ini, mendorong sebagain masyarakat sebagai “free rider”. Sebagai contoh, jika si A mengetahui bahwa barang tersebut akan disediakan oleh si B, maka si A tidak mau membayar untuk penyediaan barang tersebut dengan harapan bahwa barang itu akan disediakan oleh si B, maka si A tidak mau membayar untuk penyediaan barang tersebut dengan harapan bahwa barang itu akan disediakan oleh si B. Jika akhirnya si B berkeputusan untuk menyediakan barang tersebut, maka si A bisa ikut menikmatinya karena tidak seorangpun yang bisa menghalanginya untuk mengkonsumsi barang tersebut, karena sifat barang publik yang tidak ekslusif dan merupakan konsumsi umum. Keadaan seperti ini akhirnya cenderung mengakibatkan berkurangnya insentif atau rangsangan untuk memberikan kontribusi terhadap penyediaan dan pengelolaan barang publik. Kalaupun ada kontribusi, maka sumbangan itu tidaklah cukup besar untuk membiayai penyediaan barang publik yang efisien, karena masyarakat cenderung memberikan nilai yang lebih rendah dari yang seharusnya (undervalued).

2.  Sumber Daya Bersama

Keberadaan sumber daya bersama–SDB (common resources) atau akses terbuka terhadap sumber daya tertentu ini tidak jauh berbeda dengan keberadaan barang publik diatas.
Sumber-sumber daya milik bersama, sama halnya dengan barang-barang publik, tidak ekskludabel. Sumber-sumber daya ini terbuka bagi siapa saja yang ingin memanfaatkannya, dan Cuma-Cuma. Namun tidak seperti barang publik, sumber daya milik bersama memiliki sifat bersaingan. Pemanfaatannya oleh seseorang, akan mengurangi peluang bagi orang lain untuk melakukan hal yang sama. Jadi, keberadaan sumber daya milik bersama ini, pemerintah juga perlu mempertimbangkan seberapa banyak pemanfaatannya yang efisien. Contoh klasik tentang bagaimana eksternalitas terjadi pada kasus SDB ini adalah seperti yang diperkenalkan oleh Hardin (1968) yang dikenal dengan istilah Tragedi Barang Umum (the Tragedy of the Commons).

TRAGEDI BARANG UMUM
Andaikanlah anda hidup di sebuah kota kecil di abad pertengahan. Dari sekian banyak kegiatan ekonomi yang berlangsung di kota itu, yang paling menonjol adalah pemeliharaan domba. Banyak keluarga di kota itu yang mengandalkan asap dapurnya, dari pemeliharaan domba yang mereka ambil bulunya ( wol ) untuk dijual sebagai bahan pakaian.
      Domba-domba itu dilepas begitu saja di lahan rumput penggembalaan yang mengelilingi Kota Umum. Tidak ada yang memiliki lahan tersebut, bahkan lahan itu sudah dianggap milik bersama, sehingga setiap orang bisa melepas kawanan dombanya ke sana untuk memakan rumputnya. Selama ini kepemilikan bersama itu tidak menimbulkan masalah. Selama setiap orang bisa memperoleh sebidang lahan untuk menggembalakan dombanya, Kota Umum itu tidak bersifat bersaingan. Siapa saja bisa memanfaatkannya tanpa biaya. Pokoknya tidak ada masalah.
     
       Lambat laun, seiring dengan waktu, jumlah penduduk dan jumlah domba di Kota Umum terus bertambah, sedangkan lahan penggembalaan tidak bertambah luas. Karena jumlah domba yang memakan rumputnya sedemikian banyak, pada akhirnya padang rumput itu kehilangan kemampuan dan kesempatan untuk memulihkan diri. Belum sempat rumput baru tumbuh, sudah ada banyak domba yang menunggunya, sehingga pada akhirnya padang rumput itu pun menjadi padang gersang. Tanpa rumput, tidak mungkin pemeliharaan domba secara masal berlangsung terus. Jumlah domba pun segera menyusut, dan pada gilirannya Industri wol di kota Umum juga ditutup. Banyak keluarga di kota itu yang kehilangan mata pencaharian.
      Apa sesungguhnya yang menimbulkan tragedi itu ? Mengapa penduduk membiarkan populasi domba bertambah begitu cepat sehingga justru menghancurkan lahan penggembalaan Kota Umum ? Jawabannya bersumber pada perbedaan antara insentif pribadi dan insentif sosial. Pencegahan padang rumput di Kota Umum berubah menjadi padang pasir hanya dapat terjadi jika semua pemilik domba bekerja sama mengupayakan hal itu secara kolektif. Hanya dengan kerja sama, para pemilik domba itu dapat mengatur keseluruhan populasi hewan ternaknya agar tidak melebih daya dukung padang. Rumput itu. Namun secara individual, masing-masing keluarga pemilik domba tidak memiliki insentif untuk memulai usaha mulia tersebut, karena mereka, secara individual hanya merupakan bagian dari seluruh penduduk pemilik domba. Disamping itu jika tidak diikuti oleh yang lain, kesadaran suatu keluarga untuk membatasi jumlah dombanya juga tidak akan ada gunanya.
      Pada intinya, Tragedi Barang Umum terjadi akibat adanya masalah eksternalitas. Pada saat sebuah keluarga mengiring domba-dombanya ke padang rumput itu, maka kesempatan keluarga lain untuk melakukan hal yang sama menjadi berkurang. Mengingat masing-masing keluarga mengabaikan dampak eksternal dalam memutuskan jumlah domba yang hendak dipelihara, maka pada akhirnya jumlah domba secara keseluruhan menjadi terlalu banyak.
      Jika mau berpikir lebih panjang, penduduk Kota Umum sebenarnya bisa mencegah terjadinya tragedi itu. Mereka bisa berembug bersama untuk menentukan jumlah maksimal domba yang yang dapat dipelihara oleh setiap keluarga. Atau, mereka bisa menginternalisasikan eksternalitas itu, dengan cara mengenakan pajak kepemilikkan domba, atau menerbitkan dan melelang izin penggembalaan terbatas. Artinya, penduduk kota di abad pertengahan itu bisa mngatasi masalah pemanfaatan padang rumput secara berlebihan, dengan cara seperti yang ditempuh masyarakat modern untuk memecahkan persoalan polusi.
      Bahkan sebenarnya ada solusi yang lebih sederhana untuk Kota Umum. Mereka dapat membagi-bagi lahan penggembalaan itu kepada masing-masing keluarga. Setia keluarga mendapat sebidang lahannya sendiri. Dengan cara ini, status padang rumput akan berubah dari sumber daya milik bersama menjadi barang pribadi, sehingga masing-masing keluarga akan berusaha agar lahannya terus ditumbuhi rumput secara berkesinambungan. Para pendatang juga tidak akan ikut memelihara domba-domba baru, karena lahan penggembalaannya sudah habis terbagi. Dalam kenyataannya, hal inilah yang terjadi di Inggris pada abad ketujuhbelas.
     
 Ada satu pelajaran penting yang terkandung dalam kisah Tragedi Barang Umum ini, yakni pada saat seseorang memanfaatkan suatu sumber daya milik bersama, pada saat itu pula ia mengurangi kesempatan bagi orang lain untuk melakukan tindakan serupa. Akibat adanya eksternalitas negatif, pemanfaatan setiap sumber daya milik bersama selalu cenderung berlebihan. Untuk mengatasi masalah ini, pemerintah dapat menerapkan regulasi atau memberlakukan pajak. Atau, pemerintah bisa mengubah sumber daya milik bersama itu menjadi barang swasta.
      Pelajaran dasar ini ternyata sudah diketahui sejak ribuan tahun yang lampau. Filsuf Yunani kuno, Aristoteles, pernah mengutarakan masalah yang terkandung dalam sumber daya milik bersama : “Apa yang diperuntukkan bagi orang banyak, tidak akan dipelihara secara memadai, karena semua orang mengutamakan kepentingannya sendiri dibanding kepentingan orang lain”.
3.  Ketidaksempurnaan Pasar
       Masalah lingkungan bisa juga terjadi ketika salah satu partisipan didalam suatu tukar manukar hak-hak kepemilikan (property rights) mampu mempengaruhi hasil yang terjadi (outcome). Hal ini bisa terjadi pada pasar yang tidak sempuna (Inperfect Market) seperti pada kasus monopoli (penjual tunggal).
      Ketidaksempurnaan pasar ini misalnya terjadi pada praktek monopoli dan kartel. Contoh konkrit dari praktek kartel ini adalah Organisasi negara-negara pengekspor minyak (OPEC) dengan memproduksi dalam jumlah yang lebih sedikit sehingga mengakibatkan meningkatknya harga yang lebih tinggi dari normal. Pada kondisi yang demikian akan hanya berakibat terjadinya penignkatan surplus produsen yang nilainya jauh lebih kecil dari kehilangan surplus konsumen, sehingga secara keseluruhan, praktek monopoli ini merugikan masyarakat (worse-off).
4.  Kegagalan Pemerintah
      Sumber ketidakefisienan dan atau eksternalitas tidak saja diakibatkan oleh kegagalan pasar tetapi juga karena kegagalan pemerintah (government failure). Kegagalan pemerintah banyak diakibatkan tarikan kepentinan pemerintah sendiri atau kelompok tertentu (interest groups) yang tidak mendorong efisiensi. Kelompok tertentu ini memanfaatkan pemerintah untuk mencari keuntungan (rent seeking) melalui proses politik, melalui kebijaksanaan dan sebagainya. Aksi pencarian keuntungan (rent seeking) bisa dalam berbagai bentuk :
1.       Kelompok yang punya kepentingan tertentu (interest groups) melakukan loby dan usaha-usaha lain yang memungkinkan diberlakukannya aturan yang melindungi serta menguntungkan mereka
2.                  Praktek mencari keuntungan bisa juga berasal dari pemerintah sendiri secara sah misalnya memberlakukan proteksi berlebihan untuk barang-barang tertentu seperti menegnakan pajak impor yang tinggi dengan alasan meningkatkan efisiensi perusahaan dalam negeri.
3.                  Praktek mencari keuntungan ini bisa juga dilakukan oleh aparat atau oknum tertentu yang emmpunyai otoritas tertentu, sehingga pihak-pihak yang berkepentingan bisa memberikan uang jasa atau uang pelicin untuk keperluan tertentu, untuk menghindari resiko yang lebih besar kalau ketentuan atau aturan diberlakukan dengan sebenarnya. Praktek mencari keuntungan ini membuat alokasi sumber daya menjadi tidak efisien dan pelaksanaan atuan-aturan yang mendorong efisiensi tidak berjalan dengan semestinya. Praktek jenis ini bisa mendorong terjadinya eksternalitas. Sebagi contoh, Perusahaaan A yang mengeluarkan limbah yang merusak lingkungan. Berdasarkan perhitungan atau estimasi perusahaan A harus mengeluarkan biaya (denda) yang besar (misalnya Rp. 1 milyar) untuk menanggulangi efek dari limbah yang dihasilkan itu. Pencari keuntungan (rent seeker) bisa dari perusahaan itu sendiri atau dari pemerintah atau oknum memungkinkan membayar kurang dari 1 milyar agar peraturan sesungguhnya tidak diberlakukan, dan denda informal ini belum tentu menjadi revenue pemerintah. Sehingga akhirnya dampak lingkungan yang seharusnya diselidiki dan ditangani tidak dilaksanakan dengan semestinya sehingga masalahnya menjadi bertambah serius dari waktu ke waktu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar